Memperluas Syukur
15.00 (14 Agustus 2020).
Masih terekam jelas dalam ingatan betapa berdebarnya hatiku pada sore itu. Menatap layar laptop dengan penuh harap, lidah yang terus mengucap doa, tangan yang bergetar, dan tubuh yang sudah berkeringat dingin. Keresahan ini seperti hadir kembali menjelang pengumuman SBMPTN. Setelah sekian menit mengumpulkan keberanian, akhirnya aku membuka pengumuman SBMPTN itu.
“Bismillahirrahmanirrahim ...”
Tidak kusangka, ucapan ‘selamat’ itu kini terpantul di bola mataku yang sedang berkaca-kaca. Aku menangis bahagia dan sedih di saat yang bersamaan. Iya, aku mendapatkannya. Di pilihan kedua, bukan pilihan pertama. Aku merasa diterima dan ditolak di saat yang bersamaan pula.
“Kenapa bersedih? Lihatlah ada banyak orang yang tidak seberuntung kamu untuk mendapatkan kesempatan itu hari ini. Jangan selalu melihat ke atas, lihatlah ke bawah, agar kamu bersyukur. Ayo, bersyukurlah.” Sisi lain dalam diriku seperti mengingatkanku. Akhirnya aku mengiyakan perkataannya.
‘Bersyukur’. Kata itu memenuhi otakku selama sepekan setelah hari itu. Hingga pada suatu malam, di tengah gemerlap dan hiruk-pikuknya kota kulihat asa di sisi kanan jalan—seorang ibu paruh baya yang sedang mendorong gerobak dengan dua anak perempuannya yang masih kecil. Berteriak, menawarkan apa yang mereka jual lalu sesekali bersenda gurau bersama dan tertawa lepas tanpa memedulikan dingin udara yang menusuk tulang.
“Lihat mereka. Kasihan, ya. Lalu lihatlah dirimu sekarang sedang duduk di dalam mobil menatap mereka. Bersyukurlah, kamu lebih beruntung dari mereka.” Suara dari dalam diri ini mengingatkanku kembali. Aku pun mengiyakannya lagi.
Seiring perjalanan pada malam itu, tiba-tiba tanyaku memecahkan keheningan dalam kepala, “Mau sampai kapan bersyukur dengan menghitung lalu membandingkan nikmat yang kita punya dengan orang lain?”
“Maksudmu?” Sisi lain yang selalu mengingatkanku ini mulai kebingungan.
“Ya, mau sampai kapan kita bisa bersyukur dengan cara selalu melihat penderitaan orang lain? Mengapa tidak fokus saja memperluas syukur atas nikmat-nikmat yang Allah beri kepada kita tanpa membandingkan pemberian-Nya kepada manusia lain?”
“.......” Ia terdiam.
“Melihat ke bawah saat pengumuman SBMPTN kan, katamu? Setelah kupikir lagi, mau diterima SBMPTN ataupun belum, kita semua sejajar, kok sebenarnya. Mau diterima di pilihan pertama atau kedua, mau di kampus ternama atau tidak, kita tetap sejajar. Bahkan mau kuliah atau tidak pun, kita tetaplah sejajar. Tidak ada yang di atas maupun di bawah. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Nikmat Allah tidak hanya melalui SBMPTN, kan? Kita semua adalah pejuang dengan tujuan yang sama, yakni kesuksesan. Yang kita jalani saat ini hanyalah bis pengantarnya. Kita naik bis yang berbeda namun tetap dengan tujuan yang sama. Kusimpulkan, yang benar bukan ‘jangan melihat ke atas dan lihatlah ke bawah’, tapi ‘lihatlah ke kanan dan kirimu sebagai bentuk kebesaran Allah dengan memberimu nikmat yang sama besarnya dengan mereka, sesuai porsi menurut kehendak-Nya.’ Lihat ke kanan dan kiri bukan untuk membandingkan, tapi untuk saling menyemangati dan mendoakan agar perjalanan kita semua menuju kesuksesan selalu dilancarkan. Lalu bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk bersama-sama menyemangati dan mendoakan untuk meraih kesuksesan itu. Atau perihal situasi yang lain, mau naik mobil atau mendorong gerobak, bersyukur tak harus dengan membandingkan keduanya. Mobil dan gerobak; keduanya hanya kendaraan. Nikmat Allah luas, lebih dari sekadar kendaraan. Tegap berdirinya mereka dengan canda tawanya atau tangis bahagiamu, itu adalah nikmat indah dari Allah untuk hamba-Nya. Jadi, bukankah tidak perlu membandingkan satu sama lain? Meninggi atau merendahkan yang lain untuk bisa memperluas rasa syukur yang kita punya?”
Ia menatapku lalu menggenggam tanganku sambil tersenyum, “Sekarang aku mengerti. Mulai saat ini, mari kita memperluas syukur dengan memeluk semua nikmat Allah untuk kita, ya.” Dan aku pun membalas senyumannya seraya mengiyakannya lagi untuk kesekian kalinya namun kali ini dengan hati yang lebih tenang dan ikhlas.
Aku jadi tercerahkan tentang hakikat 'syukur' :)
ReplyDeleteAlhamdulillah, semangat bersyukurnya :))
DeleteWaah aku disinii:') yokk ikhlasinn
ReplyDeleteYokk bisa yok :'))
Delete