Memahamimu adalah Impianku
Bagi banyak orang, impian adalah hal yang diinginkan atau dicita-citakan sejak kecil. Entah itu karena keinginan yang teramat dalam dari dirinya sendiri atau berawal dari sebatas rasa kagum dengan orang dewasa di sekitarnya yang tampak keren dengan profesinya. Namun apakah semua orang merencanakan impian mereka sejak kecil? Tentu tidak. Terombang ambing penuh kebimbangan selama menjalani proses menjadi dewasa pun kerap kali terjadi pada sebagian orang. Bukan berarti tak punya cita-cita, hanya saja rasanya kepingan cita itu layaknya puzzle yang belum utuh dipertemukan satu sama lain. Itulah aku.
Namun ketika kamu membaca ini, bisa kupastikan bahwa kepingan puzzle itu kini sudah bertemu satu sama lain. Kepingan-kepingan itu kutemukan melalui sebuah proses pendewasaan—yang tidak mudah, namun aku senantiasa bersyukur karenanya. Jika bukan karena proses pendewasaan itu, puzzleku mungkin tidak akan sekompleks ini. Sebab di balik sesuatu yang kompleks inilah, pelajaran dan pengalaman berharga dapat kutemukan dan kupeluk erat-erat.
Impianku ini berawal dari kisah tentang luka yang tak kasat mata. Dari banyaknya goresan dan rasa sakit yang tertahan, sukar diungkapkan, dan tidak semua orang mampu melihatnya. Luka yang dirasakan oleh banyak orang, tentunya tidak hanya aku. Luka ini kusebut sebagai luka dalam jiwa. Begitu banyak manusia-manusia yang (katanya) makhluk sosial, tetapi saling menyakiti. Lidahnya tak bertulang, namun mampu menusuk hati teramat kencang. Bukan main-main, karena hanya dengan sepatah dua patah kata, lisannya bak racun untuk jiwa orang lain. Memojokkan, menghina, lalu menghakimi. Terlalu banyak luka-luka tertahan, hingga tak jarang nyawa seseorang sampai terenggut karenanya.
Terkadang menahan luka bukanlah sebuah keinginan. Siapa yang tidak ingin merasa lega dengan berbagi cerita dan keluh kesahnya pada manusia lain? Namun, nyatanya tidak semua orang mampu memahami goresan-goresan luka yang tak kasat mata itu.
“Kamu pasti kurang ibadah.”
“Kamu tidak bersyukur.”
“Begitu saja kok nangis, sih? Lemah, baperan.”
"Pikiranmu terlalu negatif, cobalah selalu berfikir positif."
“Kamu masih mending, tau. Masalahmu tidak ada apa-apanya sama masalahku .....” dan begitu banyak kata-kata menyakitkan lainnya.
Semua hal itu membuatku berpikir, “Kenapa ya terasa susah sekali bagi kita untuk saling mengerti dan memahami?”
Tidak kusangka juga sebelumnya bahwa berawal dari satu pertanyaan itu, kini impianku terasa utuh. Iya, impianku adalah memahamimu. Sebab jika aku dapat memahamimu, aku tenang. Dapat melihatmu tersenyum lega, aku bahagia. Mungkin aku tidak bisa sepenuhnya menyembuhkan goresan luka pada jiwamu dalam waktu sekejap, tapi aku ingin menjadi karang yang menenangkan deburan ombakmu, menjadi sosok yang bisa menenangkan lalu memeluk jiwamu dan berkata, “Tidak apa-apa, kamu tetaplah berharga—apapun yang sedang kamu rasakan.”
Kembali bicara soal kepingan cita bagaikan puzzle, semua kepingan itu memang sudah kutemukan. Namun, apakah sudah tersusun rapi dan menjadi bentuk yang indah? Jawabannya, tentu belum. Masih selangkah lagi, ada satu proses panjang yang harus kutempuh agar puzzleku menjadi sempurna.
Proses tersebut yakni dunia perkuliahan. Salah satu babak baru dalam hidupku, gerbang pembuka menuju kedewasaan yang sesungguhnya. Proses ini kuyakin tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Ujian pasti akan datang padaku silih berganti. Namun satu hal yang kusadari dan kusyukuri; proses ini akan membuatku menjadi manusia yang lebih kuat, manusia yang lebih dewasa tak hanya soal usia tapi juga pola pikir, dan tentunya menjadikan aku manusia yang bisa lebih memahami dan memanusiakan manusia lainnya. Sebab, Psikologi adalah pilihan hidupku dan aku bangga menjadi bagian darinya. Bismillah, semoga Rabb-ku memudahkan segalanya, memudahkan puzzle citaku menjadi indah. Baris aksara ini akan menjadi saksi perjuangan hidupku ke depan, mewujudkan ‘Kirana Kasih Adda, M.Psi, Psikolog’.
[Tulisan ini kususun pada tanggal 13 September 2020—pada masa ospek kampus.]
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete